Sunnah atau Wajib? Inilah Pendapat Empat Mazhab tentang Kurban Idul Adha
Artikdia - Idul Adha bukan sekadar hari raya umat Islam, melainkan juga momentum untuk menumbuhkan semangat pengorbanan, ketaatan, dan kepedulian sosial. Salah satu ibadah utama yang menyertainya merupakan kurban—penyembelihan hewan ternak selaku wujud ibadah kepada Allah SWT. Namun, muncul pertanyaan yang sering terdengar menjelang hari raya: apakah kurban itu wajib atau hanya sunnah?
Untuk menjawabnya, mari kita simak bagaimana empat mazhab utama dalam fikih Islam memandang hukum kurban, berdasarkan dalil dan fatwa ulama masing-masing.
Mazhab Hanafi: Kurban Selaku Kewajiban Untuk yang Sanggup
Dalam mazhab Hanafi, kurban dihukumi wajib bagi Muslim yang memiliki kelapangan rezeki. Ukurannya adalah seseorang yang memiliki harta senilai nisab zakat (kira-kira setara 85 gram emas) setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi.
Pendapat ini merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW:
“Benda siapa yang mempunyai kelapangan (rezeki) namun tidak berkurban, hingga janganlah dia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad serta Ibnu Majah)
Mazhab Hanafi memaknai hadis tersebut selaku wujud perintah yang tegas. Oleh karena itu, meninggalkan kurban bagi yang mampu dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban syariat.
Mazhab Maliki: Sunnah yang Sangat Ditekankan
Berbeda dengan Hanafi, mazhab Maliki menganggap kurban sebagai sunnah muakkad—ibadah yang sangat dianjurkan namun tidak berdosa jika ditinggalkan, asalkan ada alasan syar’i.
Yang menarik dari mazhab ini adalah kelonggaran dalam menafsirkan kemampuan. Jika seseorang tidak memiliki dana lebih tetapi yakin mampu melunasi utang, ia tetap dianjurkan berkurban meski dengan cara berutang. Ini menunjukkan betapa tingginya nilai kurban dalam perspektif Maliki, meskipun secara hukum tidak diwajibkan.
Mazhab Syafi’i: Sunnah yang Diiringi Kepedulian Sosial
Kebanyakan umat Islam di Indonesia menjajaki mazhab Syafi’i, yang menetapkan kurban selaku sunnah muakkad untuk yang tidak lagi dalam ekspedisi serta sanggup secara finansial.
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, berkurban merupakan sunnah muakkad yang sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu, dan meninggalkannya tanpa alasan yang sah dianggap sebagai sikap yang kurang menghargai sunnah Rasulullah SAW. Di sini, kemampuan diukur dari kecukupan kebutuhan sehari-hari dan adanya dana lebih untuk membeli hewan kurban.
Lebih dari sekadar ibadah, kurban dalam mazhab ini juga mengandung unsur solidaritas sosial, karena sebagian besar daging kurban disalurkan kepada yang membutuhkan.
Mazhab Hanbali: Sunnah, Tapi Ada yang Mengatakan Wajib
Mazhab Hanbali memiliki dua pendapat. Sebagian kecil ulama menyatakan bahwa kurban hukumnya wajib bagi yang mampu, sebagaimana pandangan mazhab Hanafi. Namun pendapat yang lebih dominan menyebutkan bahwa kurban adalah sunnah muakkad.
Dalil yang digunakan adalah praktik Nabi Muhammad SAW yang rutin melaksanakan kurban setiap tahun, namun tidak pernah memerintahkannya secara wajib kepada umatnya. Oleh karena itu, meski hukumnya sunnah, kurban sangat ditekankan dalam mazhab Hanbali.
Perbedaan Makna “Mampu” dalam Empat Mazhab
Meski ada kesepakatan bahwa hukum kurban bergantung pada kemampuan, tiap mazhab memiliki penafsiran yang berbeda. Mazhab Hanafi menilai “mampu” jika memiliki harta senilai nisab zakat. Sementara Maliki melihatnya sebagai memiliki dana lebih setelah kebutuhan pokok satu tahun terpenuhi. Syafi’i memaknai sanggup selaku kecukupan kebutuhan setiap hari plus keahlian membeli hewan kurban. Sedangkan Hanbali bahkan memperbolehkan berutang untuk berkurban selama yakin bisa melunasi utang tersebut.
Perbedaan ini memberikan kelonggaran dan fleksibilitas bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah sesuai kemampuan masing-masing, tanpa merasa terbebani.
Waktu dan Tata Cara Kurban Menurut Para Ulama
Waktu penyembelihan dimulai setelah salat Idul Adha pada 10 Dzulhijjah dan berakhir saat matahari terbenam pada 13 Dzulhijjah. Menyembelih sebelum salat Id akan membuat kurban tidak sah menurut mayoritas ulama.
Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat tertentu, yakni sehat, cukup umur, tidak cacat, serta disembelih dengan niat yang benar sambil membaca basmalah.
Distribusi Daging Kurban: Ibadah dan Instrumen Sosial
Dalam mazhab Syafi’i, daging kurban umumnya dipecah jadi 3 bagian: sepertiga buat yang berkurban, sepertiga buat saudara serta orang sebelah serta sepertiga buat fakir miskin. Tetapi bila kurban dinazarkan, segala daging wajib disedekahkan kepada yang berhak. Hal ini juga berlaku lintas mazhab dan menegaskan bahwa kurban bukan hanya ritual pribadi, melainkan juga sarana berbagi dan menegakkan keadilan sosial.
Menghargai Perbedaan, Menjaga Semangat Kurban
Perbedaan pandangan empat mazhab dalam fikih kurban merupakan kekayaan intelektual Islam, bukan sumber perpecahan. Semua mengajarkan bahwa ibadah kurban harus didasari niat ikhlas, ketaatan kepada Allah, dan kepedulian sosial.
Dalam menyambut Idul Adha, mari kita jadikan kurban sebagai cermin keimanan dan solidaritas, tanpa terjebak dalam perdebatan hukum semata. Dengan begitu, makna pengorbanan Nabi Ibrahim AS dapat terus hidup dan menginspirasi umat Islam di seluruh dunia.