Sejarah Pantai Balekambang Menelusuri Asal usul Nama Balekambang
Artikdia-Bagi para pelancong yang sering berkunjung ke Malang,
Jawa Timur, nama Pantai Balekambang tentu sudah tidak asing lagi.
Dikenal dengan sebutan "Tanah Lot-nya Jawa Timur", pantai ini
menawarkan pemandangan eksotis berupa pura yang berdiri kokoh di atas pulau
karang, dihubungkan oleh jembatan panjang yang membelah deburan ombak.
Namun, di balik keindahan visualnya yang sering menghiasi
laman media sosial, Balekambang menyimpan narasi sejarah yang panjang. Artikel
ini akan mengulas tuntas asal-usul penamaannya hingga peran tokoh-tokoh penting
yang mengubah hutan belantara menjadi salah satu ikon wisata paling ikonik di
Indonesia.
Mengapa Dinamakan Balekambang? Menelusuri Makna Etimologis
Nama sebuah tempat sering kali menjadi cerminan dari
kondisi geografis atau peristiwa yang terjadi di masa lalu. Secara etimologis,
"Balekambang" berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu "Bale"
dan "Kambang".
- Bale: Berarti balai, tempat berteduh,
atau tempat peristirahatan.
- Kambang: Berarti mengapung atau terapung
di atas air.
Jika digabungkan, Balekambang secara harfiah berarti "tempat
peristirahatan yang mengapung". Penamaan ini bukan tanpa alasan. Jika
Anda berdiri di bibir pantai saat air laut sedang pasang, pulau-pulau karang
yang ada di sana—seperti Pulau Ismoyo, Pulau Anoman, dan Pulau
Wisanggeni—terlihat seolah-olah sedang mengapung di atas permukaan air laut
yang biru.
Masyarakat setempat sejak dahulu melihat fenomena ini
sebagai ciri khas yang membedakan pantai ini dengan jajaran pantai di Malang
Selatan lainnya. Sebuah nama sederhana yang kini menjadi identitas besar di
dunia pariwisata.
Jejak Syaikh Abdul Jalil: Sosok di Balik Pembukaan Lahan
Sejarah Balekambang tidak bisa dilepaskan dari peran
seorang pemuka agama asal Yogyakarta bernama Syaikh Abdul Jalil. Sekitar
abad ke-19, kawasan Balekambang masih berupa hutan belantara atau alas
yang sangat lebat dan belum terjamah manusia.
Syaikh Abdul Jalil merupakan sosok yang pertama kali
melakukan "babat alas" atau pembukaan lahan di kawasan ini.
Kedatangannya ke pesisir selatan tidak lepas dari upaya menghindari tekanan
kolonial Belanda di tanah Mataram. Beliau memilih menepi ke wilayah terpencil
untuk menyebarkan agama Islam sekaligus menjaga kedaulatan spiritualnya.
Hingga kini, jejak sejarah beliau masih terjaga dengan
baik. Di sekitar kawasan pantai, terdapat makam Syaikh Abdul Jalil yang sering
menjadi tujuan wisata religi di Malang. Keberadaan makam ini menjadi
bukti bahwa Balekambang memiliki nilai sakral yang kuat, jauh sebelum
jembatan-jembatan beton dibangun untuk wisatawan.
Pura Luhur Amertha Jati: Simbol Akulturasi dan Ikon Wisata
Titik balik popularitas Balekambang terjadi pada awal era
1980-an. Pada masa kepemimpinan Bupati Malang, Eddy Bakti, kawasan ini mulai
dikembangkan secara lebih serius sebagai destinasi wisata. Salah satu tonggak
sejarahnya adalah pembangunan Pura Luhur Amertha Jati di atas Pulau
Ismoyo pada tahun 1983.
Pura ini dibangun atas prakarsa pemuka agama Hindu dan
pemerintah setempat, dengan tujuan sebagai tempat peribadatan sekaligus
penghormatan terhadap alam. Keberadaan pura di atas karang ini seketika
mengubah wajah Balekambang. Perpaduan antara arsitektur suci Hindu dengan
panorama laut selatan menciptakan kesan magis yang mengingatkan banyak orang
pada Pura Tanah Lot di Bali.
Setiap tahunnya, Pura ini menjadi pusat pelaksanaan Upacara
Jalanidhi Puja menjelang hari raya Nyepi. Ribuan umat Hindu berkumpul untuk
melarung sesaji sebagai simbol penyucian diri, yang kini juga menjadi daya
tarik budaya bagi para fotografer dan wisatawan mancanegara.
Peran Masyarakat Lokal: Gotong Royong Membangun Pariwisata
Kesuksesan Balekambang menjadi destinasi nasional bukan
semata-mata karena intervensi pemerintah, melainkan juga berkat kegigihan
masyarakat lokal Desa Srigonco. Sejak tahun 1970-an, warga setempat telah
menyadari potensi pantai ini.
Secara swadaya, mereka mulai membuka akses jalan setapak
agar kendaraan bisa masuk. Budaya gotong royong inilah yang menjaga kelestarian
alam Balekambang hingga akhirnya pengelolaan diambil alih secara profesional
oleh PD Jasa Yasa. Masyarakat tidak hanya menjadi penonton, mereka terlibat
aktif dalam menjaga kebersihan, menyediakan fasilitas penginapan rakyat, hingga
menjadi pemandu wisata.
Hingga kini, ekosistem ekonomi di Balekambang terus berputar berkat tangan-tangan kreatif warga lokal yang menjajakan kuliner hasil laut dan kerajinan tangan, memastikan bahwa sejarah panjang pantai ini tetap memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan mereka.
Pantai Balekambang adalah harmoni antara keindahan alam,
kedalaman sejarah, dan kekayaan budaya. Dari makna namanya yang unik, jejak
dakwah Syaikh Abdul Jalil, hingga kemegahan Pura di Pulau Ismoyo, semuanya
membentuk narasi yang tidak lekang oleh waktu. Mengunjungi pantai ini bukan
hanya soal menikmati ombak, tetapi juga menghargai warisan masa lalu yang tetap
dijaga hingga kini.

