Apa Perbedaan Antara Petani Tradisional dan Agropreneur Modern?
Artikdia - Wajah pertanian Indonesia kini tengah berubah. Jika dulu profesi petani identik dengan pekerjaan konvensional di sawah, kini muncul generasi baru yang menyebut diri mereka agropreneur, petani modern yang memadukan teknologi, bisnis, dan inovasi.
Perubahan
ini bukan sekadar tren, melainkan transformasi besar yang menentukan masa depan
pangan dan ekonomi Indonesia.
Di tengah
pesatnya kemajuan digital, para agropreneur mulai menunjukkan bahwa bertani tak
lagi harus identik dengan kerja keras semata, tetapi juga dengan kecerdasan,
strategi, dan kreativitas.
![]() |
| design by : canva |
Ciri-Ciri Petani
Tradisional
Petani
tradisional adalah tulang punggung bangsa yang telah menjaga ketahanan pangan
selama puluhan tahun. Namun, sistem kerja mereka umumnya masih berorientasi
pada produksi, bukan pada nilai tambah.
Mereka
cenderung fokus pada panen sebanyak-banyaknya, bukan pada bagaimana hasil itu
bisa dipasarkan secara efisien. Ketergantungan pada pola lama dan tengkulak
juga masih menjadi tantangan besar. Harga jual kerap ditentukan pihak lain,
bukan oleh petani itu sendiri.
Selain itu,
minimnya literasi digital membuat banyak petani kesulitan mengakses informasi
pasar, teknologi budidaya terbaru, atau peluang ekspor yang sebenarnya terbuka
luas.
Ciri-Ciri Agropreneur
Modern
Sebaliknya,
agropreneur modern melihat pertanian sebagai bisnis berkelanjutan yang punya
nilai ekonomi tinggi. Mereka tidak hanya menanam, tapi juga merancang strategi
dari hulu ke hilir: mulai dari riset pasar, manajemen produksi, branding,
hingga distribusi.
Dengan
bantuan teknologi seperti Internet of Things (IoT), sensor kelembapan tanah,
dan aplikasi pertanian digital, mereka mampu meningkatkan efisiensi dan
produktivitas.
Selain itu,
agropreneur modern juga membangun merek pertanian sendiri mengemas produknya
dengan baik, menjual langsung ke konsumen lewat e-commerce, bahkan membangun
komunitas pelanggan loyal.
Mereka
sadar bahwa pertanian bukan sekadar tentang hasil panen, tapi tentang menciptakan
nilai tambah dan dampak sosial ekonomi.
Perbandingan Nyata di
Lapangan
Sebagai
contoh, bayangkan dua petani:
- Seorang petani padi
konvensional di desa yang menjual gabahnya ke tengkulak dengan harga tetap
setiap musim.
- Di sisi lain, seorang
agropreneur muda mengelola sayur hidroponik di lahan sempit, menjual
langsung ke restoran dan konsumen lewat platform online.
Hasilnya?
Agropreneur mampu menentukan harga sendiri, memantau stok, bahkan memperluas
pasar hingga kota besar. Dengan sistem produksi yang efisien dan jaringan
digital yang kuat, ia memperoleh pendapatan lebih stabil dan berkelanjutan.
Perbandingan
ini menunjukkan bahwa perbedaan bukan pada lahannya, tapi pada cara
berpikirnya.
Tantangan Menjadi
Agropreneur
Meski
peluangnya besar, menjadi agropreneur tidak tanpa tantangan.
Hal pertama yang harus diubah adalah mindset, dari sekadar bertani menjadi
pelaku bisnis. Banyak anak muda yang masih ragu karena stigma bahwa pertanian
itu “kotor” atau “tidak menjanjikan”.
Selain itu,
ada pula kendala akses modal dan infrastruktur digital. Tidak semua wilayah
memiliki jaringan internet stabil atau fasilitas pelatihan teknologi pertanian.
Namun,
dengan munculnya banyak program pemerintah dan startup pertanian, hambatan ini
perlahan mulai teratasi.
Yang
terpenting adalah kemauan belajar dan beradaptasi, karena dunia pertanian kini
bergerak secepat dunia teknologi.
Perbedaan
antara petani tradisional dan agropreneur modern bukan soal siapa yang lebih
hebat, melainkan soal siapa yang lebih siap menghadapi masa depan.
Dan bila keduanya bisa berkolaborasi, pengalaman bertemu inovasi, maka pertanian Indonesia bukan hanya akan bertahan, tapi tumbuh menjadi sektor strategis yang memperkuat ekonomi nasional.

