Dasar Aqiqah dalam Al-Qur’an dan Makna Syukur Kelahiran

Daftar Isi
dasar aqiqah dalam al-qur'an

Artikdia - Kelahiran seorang anak adalah momen yang mengubah hidup. Tangisan pertama sang bayi seringkali disambut dengan air mata bahagia dan lantunan azan dari sang ayah. Di tengah kebahagiaan tersebut, Islam hadir memberikan tuntunan untuk merayakan kehidupan baru ini melalui ibadah yang dikenal dengan nama aqiqah.

Sebagian besar umat Muslim memahami bahwa aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh. Namun, pernahkah Ayah dan Bunda bertanya, apakah dasar aqiqah ini tercantum dalam Al-Qur'an? Atau apakah ini murni ajaran Hadis?

Memahami fondasi spiritual dari sebuah ibadah akan membuat pelaksanaannya terasa lebih bermakna. Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri bagaimana Al-Qur'an meletakkan landasan nilai syukur yang menjadi jiwa dari pelaksanaan aqiqah itu sendiri.


Aqiqah dan Tradisi Syukur Kelahiran dalam Islam

Aqiqah, secara sederhana, adalah bentuk penebusan seorang anak yang baru lahir melalui penyembelihan hewan ternak. Dalam fikih, hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (sangat dianjurkan).

Bagi keluarga Muslim, aqiqah bukan sekadar tradisi turun-temurun. Ia adalah manifestasi ketaatan dan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Meskipun kita sering mendengar dalil-dalil aqiqah dari Hadis Nabi, penting untuk diketahui bahwa semangat atau spirit dari ibadah ini sangat selaras dengan pesan-pesan utama dalam kitab suci Al-Qur'an.

Dasar aqiqah sejatinya berakar pada konsep "syukur" dan "pengorbanan" yang berulang kali ditekankan oleh Allah SWT. Dengan melaksanakan aqiqah, orang tua sedang mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur'an ke dalam tindakan nyata: memberi makan sesama, berbagi kebahagiaan, dan mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub).


Apakah Aqiqah Disebut dalam Al-Qur’an?

Jika kita mencari kata "aqiqah" secara tekstual atau harfiah di dalam Al-Qur'an, kita tidak akan menemukannya. Al-Qur'an tidak memberikan instruksi teknis seperti "sembelihlah dua kambing untuk anak laki-laki". Instruksi teknis dan rinci mengenai tata cara aqiqah ini datang dari hadis-hadis Rasulullah SAW, salah satunya:

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Daud).

Lantas, apakah ini berarti aqiqah tidak memiliki landasan Qur'ani? Tentu tidak.

Dasar aqiqah dalam Al-Qur'an dapat ditemukan melalui perintah umum Allah SWT untuk mengikuti Rasul-Nya. Dalam Surah Al-Hasyr ayat 7, Allah berfirman:

"...Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah..."

Ayat ini menjadi dalil ushul (pokok) bahwa setiap sunnah Nabi, termasuk aqiqah, adalah wahyu yang wajib dihormati dan diikuti. Selain itu, perintah berkurban atau menyembelih hewan sebagai bentuk syukur tercantum dalam Surah Al-Kautsar ayat 2:

"Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)."

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa perintah menyembelih (wanhar) di sini bersifat umum, mencakup kurban Idul Adha dan juga penyembelihan lain yang disyariatkan, termasuk aqiqah sebagai wujud syukur atas nikmat yang banyak (al-kautsar), termasuk nikmat keturunan.


Ayat-Ayat Al-Qur’an Terkait Syukur atas Kelahiran Anak

Meskipun teknis aqiqah ada di hadis, "ruh" atau jiwa dari ibadah ini tersebar di banyak ayat Al-Qur'an. Dasar aqiqah adalah rasa syukur, dan Al-Qur'an sangat menekankan pentingnya bersyukur saat mendapat karunia anak. Berikut beberapa ayat yang relevan:

1. Perintah Bersyukur Menambah Nikmat (QS. Ibrahim: 7)

Kelahiran anak adalah nikmat yang luar biasa. Aqiqah adalah respon syukur seorang hamba. Allah berjanji dalam Surah Ibrahim ayat 7:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat'."

Dengan beraqiqah, orang tua sedang "mengikat" nikmat tersebut agar terus bertambah. Tambahan nikmat ini bisa berupa kesehatan anak, kesalehan, hingga kecerdasan. Sebaliknya, enggan bersyukur padahal mampu dikhawatirkan akan mengurangi keberkahan harta dan keluarga.

2. Anak sebagai Perhiasan dan Ujian (QS. Al-Kahfi: 46)

Al-Qur'an mengingatkan bahwa anak adalah perhiasan dunia (zinatul hayatud dunya).

"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia..." (QS. Al-Kahfi: 46).

Sebagai perhiasan, ia harus dijaga. Aqiqah berfungsi sebagai upaya spiritual untuk menjaga "perhiasan" ini dari gangguan setan. Hal ini sejalan dengan makna hadis bahwa anak itu "tergadai" dan harus ditebus.

3. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail (QS. Ash-Shaffat: 100-107)

Kisah penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya, Nabi Ibrahim AS, adalah puncak dari konsep pengorbanan dan penebusan (fidyah). Ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar (dzibhin 'adzim), ini menjadi simbol bahwa nyawa manusia sangat berharga dan hewan ternak dikorbankan sebagai gantinya.

Nilai ini sangat dekat dengan filosofi aqiqah, di mana hewan disembelih sebagai "tebusan" untuk keselamatan sang bayi. Doa Nabi Ibrahim meminta keturunan yang saleh (QS. Ash-Shaffat: 100) juga menjadi landasan bagi orang tua saat melaksanakan aqiqah: berharap kesalehan sang anak.


Nilai-Nilai Aqiqah dalam Perspektif Al-Qur’an

Ketika Ayah dan Bunda melaksanakan aqiqah, sesungguhnya keluarga sedang mempraktikkan nilai-nilai luhur Al-Qur'an. Apa saja nilai tersebut?

1. Tauhid (Mengesakan Allah)

Berbeda dengan tradisi jahiliyah atau adat istiadat tertentu yang menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada roh leluhur atau penolak bala mistis, aqiqah dalam Islam murni dipersembahkan Lillahi Ta'ala. Dasar aqiqah adalah tauhid. Saat hewan disembelih, nama Allah disebut (Bismillahi Allahu Akbar). Ini menegaskan ajaran Al-Qur'an dalam Surah Al-An'am ayat 162: "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam."

2. Kepedulian Sosial (Sedekah)

Al-Qur'an sangat memuji orang yang memberi makan (ith'amut tha'am). Dalam pelaksanaan aqiqah, daging dimasak dan dibagikan kepada kerabat serta fakir miskin. Ini adalah implementasi dari ayat-ayat yang memerintahkan kita berbuat baik kepada kerabat dekat dan orang miskin (QS. An-Nisa: 36). Aqiqah mengajarkan keluarga untuk tidak menikmati kebahagiaan sendirian, tetapi membaginya dengan komunitas sekitar.

3. Mengikuti Jejak Para Nabi

Melaksanakan aqiqah berarti menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW dan meneladani Nabi Ibrahim AS. Al-Qur'an menyebutkan bahwa pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (uswatun hasanah) bagi orang yang mengharap rahmat Allah (QS. Al-Ahzab: 21).


Mengaitkan Syariat Aqiqah dengan Makna Syukur dalam Al-Qur’an

Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun kata "aqiqah" tidak tertulis secara eksplisit dalam mushaf, dasar aqiqah tertanam kuat dalam prinsip-prinsip Al-Qur'an. Aqiqah adalah wujud nyata dari ayat-ayat tentang syukur, pengorbanan, tauhid, dan kepedulian sosial.

Melaksanakan aqiqah bukan sekadar menggugurkan kewajiban orang tua atau mengikuti tradisi sosial. Lebih dari itu, ia adalah momentum spiritual untuk "mendaftarkan" anak kita sebagai hamba Allah yang bersyukur sejak awal kehidupannya.

Semoga dengan memahami landasan ini, Ayah dan Bunda semakin mantap dalam mempersiapkan aqiqah terbaik untuk buah hati. Luruskan niat hanya karena Allah, ikuti tata cara sesuai sunnah, dan bagikan kebahagiaan tersebut kepada sesama.

Bagi Anda yang sedang merencanakan ibadah mulia ini, pastikan pelaksanaannya sesuai dengan syariat agar nilai-nilai Qur'ani yang terkandung di dalamnya dapat diraih secara sempurna. Selamat menyambut amanah baru, semoga menjadi anak yang qurrota a'yun (penyejuk hati).

Jasa Pembuatan Website UMKM
Jasa Pembuatan Website UMKM
Jasa Pembuatan Website UMKM