Kenapa Croffle Masih Dicari Meski Banyak Tren Kuliner Baru
Artikdia - Ketika dunia kuliner terus melahirkan tren baru, satu kudapan yang namanya sempat meledak di media sosial masih tetap dicari hingga kini. Croffle, perpaduan croissant dan waffle, menjadi salah satu ikon makanan kekinian yang menolak untuk hilang dari radar pecinta kuliner. Walau deretan makanan viral lain bermunculan—dari Korean garlic cheese bread, minuman boba, hingga dessert dengan tampilan gemerlap—croffle punya jalannya sendiri untuk bertahan.
Aroma harum mentega yang terpanggang, tekstur renyah di luar namun lembut di dalam, serta fleksibilitas dalam kreasi topping membuatnya bukan sekadar makanan tren sesaat. Ia bertransformasi menjadi menu yang bisa ditemui di berbagai kafe, gerai roti, hingga kedai kecil pinggir jalan.
Dari Tren Media Sosial ke Etalase Toko Roti
Awal masuknya croffle ke Indonesia tidak lepas dari peran media sosial. Video singkat tentang cara membuat croffle di rumah viral di berbagai platform. Warga digital yang haus akan tren baru ikut mencoba, lalu membagikan hasil buatan mereka. Hanya dalam hitungan bulan, banyak gerai bakery besar di kota-kota besar mulai memasukkan croffle ke etalase toko mereka.
Salah satu contoh nyata bisa dilihat di Jakarta, Bandung, hingga Surabaya. Kafe yang sebelumnya hanya menjual croissant atau waffle secara terpisah, mulai memadukan keduanya. Bahkan, beberapa brand besar rela mengantri mesin waffle khusus agar bisa menampilkan menu croffle dengan kualitas yang konsisten. Dari sana, nama croffle menembus batas kafe elit dan masuk ke kedai-kedai rumahan dengan variasi harga lebih terjangkau.
Lidah Konsumen yang Fleksibel
Kenapa croffle masih dicari? Jawabannya bisa jadi karena karakternya yang mudah menyesuaikan lidah masyarakat. Bagi mereka yang suka manis, croffle hadir dengan taburan gula halus, saus cokelat, atau topping buah segar. Sementara untuk yang lebih suka gurih, croffle bisa dipadukan dengan keju, smoked beef, hingga saus pedas manis ala Indonesia.
Fleksibilitas inilah yang membuat croffle bertahan lebih lama dibanding tren makanan lain. Jika minuman boba perlahan mulai kehilangan gemerlapnya, croffle tetap hadir dengan wajah baru berkat kreativitas para pelaku usaha kuliner.
Strategi Bisnis Kecil dan Menengah
Banyak pelaku UMKM yang menjadikan croffle sebagai pintu masuk bisnis mereka. Tidak sedikit cerita pemilik usaha rumahan yang memulai dari dapur kecil, berbekal oven sederhana, lalu menjajakan croffle melalui aplikasi pesan antar makanan.
Salah satunya adalah Dini, pemilik usaha rumahan di Depok. Ia memanfaatkan tren croffle untuk menarik pelanggan pertamanya. “Awalnya ikut-ikutan saja karena lagi ramai. Tapi ternyata, pelanggan suka dengan varian rasa yang saya bikin. Sampai sekarang pun masih ada yang pesan rutin,” ujarnya.
Kisah seperti Dini menunjukkan bahwa croffle bukan hanya fenomena singkat, tetapi juga peluang bisnis yang nyata. Dengan modal relatif terjangkau, siapa pun bisa berkreasi dan menjadikan croffle sebagai produk andalan.
Peran Media Sosial yang Tidak Pernah Redup
Jika ditarik ke akar penyebab, kekuatan media sosial masih menjadi faktor utama yang menjaga popularitas croffle. Foto-foto cantik croffle dengan topping berwarna-warni sering menghiasi feed Instagram, TikTok, dan platform lain. Tidak sedikit influencer kuliner yang menjadikannya sebagai konten andalan.
Dalam dunia kuliner modern, visual sering kali sama pentingnya dengan rasa. Croffle memenuhi kedua aspek tersebut. Bentuknya yang bertekstur, topping yang beragam, dan kemampuannya untuk tampil menarik di kamera menjadikannya mudah dijual di dunia maya. Dari sana, konsumen terpicu untuk mencoba, lalu mendorong permintaan tetap ada.
Rasa Nostalgia dan Gaya Hidup
Meski terkesan sebagai makanan baru, croffle sebenarnya membawa rasa nostalgia. Croissant yang sudah lama dikenal berpadu dengan waffle yang juga populer di kalangan muda. Kombinasi ini memberi pengalaman yang akrab sekaligus berbeda.
Bagi sebagian orang, menyantap croffle bukan sekadar urusan perut. Ia menjadi bagian dari gaya hidup. Nongkrong di kafe sambil memesan croffle dianggap sebagai pengalaman sosial yang menyenangkan. Foto croffle di meja kopi sering kali lebih dari cukup untuk memperlihatkan tren dan selera seseorang.
Persaingan dengan Tren Kuliner Lain
Tidak bisa dipungkiri, dunia kuliner sangat cepat berganti tren. Setelah croffle, ada banyak makanan yang tiba-tiba viral. Korean garlic cheese bread, minuman dalgona coffee, sampai dessert khas Jepang sempat menguasai media sosial. Namun, banyak dari mereka hanya bertahan beberapa bulan.
Croffle berbeda karena keberhasilannya menembus dapur usaha kuliner, bukan sekadar media sosial. Kini, meskipun tren lain bermunculan, croffle tetap menjadi menu reguler di banyak kafe dan toko roti. Hal ini menandakan bahwa posisinya tidak lagi hanya sekadar tren, tetapi bagian dari katalog kuliner modern.
Inovasi Tanpa Henti
Ketahanan croffle juga bergantung pada inovasi. Banyak gerai tidak puas hanya menjual croffle original. Mereka menghadirkan varian baru seperti croffle isi custard, croffle berlapis matcha, hingga croffle dengan lelehan keju mozzarella. Bahkan, beberapa restoran cepat saji ikut memanfaatkan kepopuleran croffle dengan meluncurkan menu terbatas.
Dengan inovasi tersebut, konsumen tidak merasa bosan. Selalu ada sesuatu yang baru untuk dicoba, sehingga croffle tetap relevan di pasar yang kompetitif.
Potret Pasar Global dan Lokal
Menariknya, croffle tidak hanya populer di Indonesia. Di Korea Selatan, tempat asal viralnya, croffle masih menjadi menu yang dicari di banyak kafe. Begitu pula di beberapa negara Eropa dan Amerika, di mana croffle masuk ke jajaran pastry populer.
Namun, ada perbedaan cara penyajian. Jika di Indonesia croffle cenderung dikreasikan dengan topping melimpah, di luar negeri ia lebih sering disajikan sederhana, hanya dengan taburan gula atau madu. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana makanan bisa beradaptasi dengan budaya lokal.
Antara Tren dan Tradisi Baru
Hari ini, croffle mungkin tidak lagi seheboh awal kemunculannya. Namun, posisinya di dunia kuliner Indonesia tidak bisa diremehkan. Ia telah melewati fase “makanan viral” dan perlahan menempati tempat sebagai “tradisi baru” di kafe-kafe modern.
Di satu sisi, ia tetap menyandang label makanan kekinian. Di sisi lain, croffle juga menjadi contoh bagaimana sebuah tren bisa bertransformasi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.