Program Makan Gratis Siswa: Terobosan Gizi atau Ancaman Sektor Pendidikan?
![]() |
Foto ilustrasi by AI |
Rencana
peluncuran Program Makan Gratis bagi siswa dengan anggaran negara
mencapai Rp 28 triliun per tahun menjadi salah satu kebijakan publik paling
disorot tahun ini.
Pemerintah
menargetkan pemenuhan kebutuhan gizi bagi pelajar, khususnya di daerah dengan
prevalensi stunting tinggi.
Namun, di
tengah harapan akan peningkatan kualitas kesehatan anak, muncul kekhawatiran
akan dampaknya terhadap anggaran pendidikan secara keseluruhan.
Memerangi Krisis Gizi Lewat Jalur Sekolah
Kebijakan
ini hadir sebagai bagian dari intervensi gizi nasional untuk menjawab
persoalan gizi kronis yang masih membayangi banyak anak Indonesia.
Sekolah
dipilih sebagai kanal distribusi utama karena dianggap strategis dan
terjangkau. Pemerintah merencanakan skema penyediaan makanan bergizi di
lingkungan sekolah untuk mendorong konsentrasi belajar dan mencegah putus
sekolah.
Dalam
tahap awal, program akan menyasar wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan
kasus malnutrisi anak yang signifikan.
Tujuan
utamanya adalah membentuk generasi yang lebih sehat dan cerdas melalui asupan
bergizi yang konsisten.
Tantangan Anggaran dan Skema Pelaksanaan
Pemerintah
mengklaim bahwa anggaran akan bersumber dari optimalisasi belanja negara dan
penyesuaian terhadap subsidi non-prioritas.
Namun,
belum ada penjelasan rinci mengenai model distribusi makanan, pemilihan
penyedia, hingga bagaimana pengawasan kualitas dilakukan di lapangan.
Ketidakjelasan
ini memicu kekhawatiran bahwa program akan menjadi proyek besar tanpa kontrol
yang memadai.
Menggoyang Prioritas Pendidikan?
Sebagian
pengamat pendidikan menilai bahwa program makan gratis, meskipun penting,
berpotensi mengalihkan fokus dari prioritas utama sektor pendidikan, seperti
peningkatan kualitas guru, pengembangan kurikulum, hingga infrastruktur
pembelajaran.
Dengan
alokasi dana yang setara hampir setengah dari anggaran Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) nasional, kekhawatiran muncul bahwa program makan siang
pelajar ini dapat menggerus dana-dana strategis yang seharusnya
diperuntukkan bagi penguatan sistem pendidikan.
Haruskah Menyasar Semua Siswa?
Beberapa
studi menunjukkan bahwa program semacam ini akan lebih efektif jika difokuskan
pada kelompok rentan atau siswa dari keluarga kurang mampu.
Langkah
ini dianggap dapat memperkecil beban anggaran negara untuk gizi anak, sekaligus
memastikan bahwa bantuan tepat sasaran dan tidak mubazir.
Kolaborasi dan Transparansi
Agar
program ini berhasil dan tidak menjadi beban jangka panjang, dibutuhkan sinergi
antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, serta masyarakat lokal.
Model
pelibatan komunitas dan sektor swasta dalam rantai pasok makanan bisa menjadi
solusi untuk menekan biaya dan memperluas jangkauan program.
Transparansi
pengelolaan dana juga mutlak diperlukan. Sistem pemantauan berbasis digital,
audit berkala, serta pelibatan pengawas independen menjadi langkah penting agar
program ini tidak hanya berjalan, tetapi juga memberikan dampak nyata.
Investasi Masa Depan, Bukan Beban Kebijakan
Program
Makan Gratis adalah
kebijakan dengan ambisi besar: memperbaiki kualitas hidup anak-anak Indonesia
melalui jalur pendidikan.
Namun,
seperti semua program besar, keberhasilannya sangat bergantung pada eksekusi
yang cermat, tata kelola yang transparan, dan prioritas anggaran yang seimbang.
Jika
dijalankan dengan benar, program ini bisa menjadi investasi jangka panjang yang
memperkuat fondasi kesehatan dan pendidikan bangsa.
Namun jika tidak, ia bisa berubah menjadi
catatan suram dalam perjalanan pembangunan nasional.