Mobil Listrik di Indonesia Melesat, Tapi Masih Tersandung Infrastruktur?
Artikdia - Pemerintah Indonesia
punya ambisi besar: dua juta unit mobil listrik mengaspal pada 2030. Target ini
bukan isapan jempol semata. Lewat beragam insentif dan dorongan regulatif,
ekosistem EV Indonesia mulai terbentuk. Namun, di balik geliat itu, masih ada pekerjaan
rumah yang tak sedikit—terutama soal infrastruktur dan mentalitas pengguna.
Mobil Listrik Mulai Jadi Pemandangan
Biasa
Jika Anda melintas di
kawasan Senayan, BSD, atau pusat kota Surabaya, besar kemungkinan akan
menjumpai mobil listrik berseliweran. Mulai dari Wuling Air EV yang mungil,
Hyundai Ioniq 5 yang futuristik, hingga Tesla yang mencolok, keberadaan
kendaraan tanpa suara knalpot ini kian terasa. Fenomena terkini mobil listrik
ini menunjukkan pergeseran minat konsumen urban ke arah teknologi yang lebih
ramah lingkungan.
Pemerintah tidak tinggal diam. Dalam peta jalan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), target dua juta unit mobil listrik dan delapan juta unit motor listrik jadi prioritas nasional. Untuk mendukungnya, insentif mobil listrik pemerintah hadir dalam bentuk diskon PPN, pembebasan pajak, hingga subsidi langsung Rp 7 juta untuk motor listrik.
Baca juga: Inilah Inovasi Menakjubkan Teknologi Hijau yang Diterapkan di Maroko
Angka Penjualan Naik, Tapi SPKLU Masih Minim
Data Kementerian
Perhubungan mencatat, hingga akhir 2024, lebih dari 18.000 unit mobil listrik
telah terdaftar. Pertumbuhannya terbilang cepat, seiring kampanye masif dan
stimulus finansial yang digelontorkan.
Namun, realitas di
lapangan belum semulus itu. Jumlah charging station mobil listrik atau
SPKLU baru mencapai 1.300 titik. Dan dari jumlah tersebut, lebih dari
separuhnya berada di Jabodetabek. Sementara itu, pengguna di luar Jawa kerap
mengeluh kesulitan saat melakukan perjalanan jarak jauh.
"Kalau cuma buat
ke kantor dan ngantar anak sekolah, aman. Tapi pas mau road trip ke luar kota,
mikir dua kali," keluh Ardianto, pengguna mobil listrik asal Surabaya yang
sudah beralih ke EV sejak 2023.
Industri Otomotif Ikut Tancap Gas
Tren ini tidak hanya
dirasakan oleh pengguna, tapi juga oleh pelaku industri otomotif. Sejumlah
pabrikan asing seperti Hyundai dan BYD sudah membangun fasilitas perakitan di
Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia kini menatap peran strategis sebagai pemain
kunci dalam industri baterai kendaraan listrik berkat cadangan nikel yang
melimpah.
"Kami sedang
mempersiapkan ekosistem kendaraan listrik dari hulu ke hilir, termasuk
pengembangan baterai lokal," ungkap Febrianto, perwakilan PT Hyundai
Motors Indonesia.
Sejalan dengan itu,
beberapa produsen lokal mulai melirik pasar EV dengan merancang mobil listrik
berbiaya terjangkau. Namun, mereka harus bersaing ketat dengan produk dari
Tiongkok yang masuk dengan harga agresif dan teknologi mumpuni.
Perubahan Mindset Masih Jadi
Tantangan
Menurut pengamat
transportasi, tantangan besar justru datang dari sisi non-teknis: mentalitas
dan pengetahuan pengguna.
"Banyak
masyarakat yang masih menganggap mobil listrik itu ribet. Ada ketakutan kalau
mogok di tengah jalan, atau bingung soal perawatan. Padahal, jika diedukasi
dengan benar, EV justru lebih hemat dan simpel.”
Peran pemerintah
daerah juga krusial dalam mempercepat adopsi. "Jangan semua bergantung ke
PLN pusat. Pemda bisa gandeng swasta buat bangun charging station mobil listrik
di daerah."
Masa Depan Cerah, Tapi Masih Perlu
Ditenagai
Dengan komitmen menuju
net zero emission pada 2060, mobil listrik bukan lagi opsi, tapi keniscayaan.
Fenomena terkini mobil listrik menunjukkan bahwa perubahan sedang terjadi.
Namun, akselerasi menuju energi bersih ini butuh fondasi kuat: mulai dari infrastruktur
yang merata, edukasi publik, hingga insentif yang konsisten.
Saat ini, memang suara
mobil listrik masih kalah gaung dari knalpot racing. Tapi kalau strategi
dikelola dengan cermat, bukan tak mungkin dalam waktu dekat, suara halus EV
akan mendominasi jalanan Indonesia.