Kenali 3 Jenis Najis dalam Islam, Contoh & Tata Cara Menyucikannya
![]() |
Foto ilustrasi by AI |
Dalam ajaran Islam, menjaga kebersihan bukan hanya soal kebiasaan hidup sehat, tetapi merupakan bagian dari ibadah yang tidak bisa dipisahkan.
Salah
satu bentuk kebersihan yang paling penting adalah bersuci dari najis. Karena
itu, memahami 3 jenis najis dalam Islam serta cara menyucikannya menjadi
hal yang wajib diketahui setiap Muslim agar ibadahnya sah dan diterima.
Pengertian Najis dan Urgensinya dalam Ibadah
Najis
dalam fikih Islam adalah segala sesuatu yang dianggap kotor secara syar’i dan
dapat membatalkan keabsahan ibadah, khususnya salat.
Najis
bisa berasal dari tubuh manusia, hewan, maupun benda yang terkena zat najis. Pentingnya
memahami najis ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
“Kebersihan
adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim)
Kesucian
lahir merupakan cerminan dari kebersihan batin. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan diri dari najis bukan hanya berdampak pada fisik, tetapi juga pada
kualitas spiritual seorang Muslim.
Pembagian Najis dalam Islam
Para ulama membagi najis ke dalam 3 jenis
utama: najis mukhaffafah (ringan), najis mutawassitah (sedang), serta najis
mughallazah (berat). Masing-masing
memiliki contoh serta tata cara penyucian yang berbeda.
1. Najis Mukhaffafah (Ringan)
Najis mukhaffafah ialah kategori najis yang
tingkatannya paling ringan.
Contoh:
- Air kencing bayi laki-laki
yang belum mengonsumsi makanan selain air susu ibu (ASI).
Cara
menyucikan:
Menurut mazhab Syafi’i, najis ini cukup disucikan dengan cara dipercikkan air
pada bagian yang terkena, tanpa perlu digosok atau dicuci berulang kali.
2. Najis Mutawassitah (Sedang)
Najis
mutawassitah merupakan jenis najis yang paling umum dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari.
Contoh:
- Air kencing orang dewasa
- Tinja manusia
- Darah
- Nanah
- Bangkai hewan (kecuali
bangkai ikan dan belalang)
- Minuman keras (khamr)
Cara
menyucikan:
Bagian yang terkena najis harus dibasuh dengan air sampai hilang tiga sifat
najis, yaitu warna, bau, dan rasa.
Jika
salah satu dari sifat tersebut masih tersisa, maka najis belum dianggap suci.
Cara ini merujuk pada prinsip dasar dalam fikih bahwa kebersihan harus bersifat
menyeluruh.
Dalam
konteks hukum najis dalam salat, najis jenis ini harus benar-benar
dibersihkan dari badan, pakaian, maupun tempat salat, agar ibadah tidak batal.
3. Najis Mughallazah (Berat)
Najis
mughallazah adalah jenis najis dengan tingkat paling berat dan membutuhkan
prosedur penyucian yang lebih kompleks.
Contoh:
- Anjing dan babi
- Segala sesuatu yang berasal
dari keduanya, termasuk air liur, kotoran, bulu, atau enzim
Cara
menyucikan:
Berdasarkan hadis shahih, menyucikan najis mughallazah harus dilakukan dengan
mencuci bagian yang terkena sebanyak tujuh kali, dan salah satunya menggunakan
air yang dicampur dengan tanah.
Dalam
mazhab Syafi’i, aturan ini bersifat mutlak dan wajib diikuti, baik najisnya
berupa air liur, kotoran, maupun bagian tubuh lainnya.
Relevansi Najis dalam Kehidupan Modern
Meski
berkembang dalam konteks abad ke-7, konsep najis tetap relevan hingga hari ini.
Misalnya, dalam sertifikasi produk halal, bahan yang berasal dari babi secara
otomatis dikategorikan sebagai najis mughallazah.
Begitu
pula dalam dunia farmasi dan kosmetik, kehadiran enzim atau zat dari hewan
najis mempengaruhi status kehalalan suatu produk.
Kesadaran
akan najis tidak hanya memengaruhi praktik ibadah, tapi juga gaya hidup Muslim
modern, mulai dari pemilihan makanan, pakaian, hingga produk kesehatan dan
kecantikan.
Menjaga Kesucian sebagai Wujud Ketaatan
Mengetahui
dan memahami cara menyucikan najis menurut mazhab Syafi’i bukanlah semata pelajaran
fikih, tetapi juga wujud nyata dari ketaatan seorang Muslim terhadap perintah
agama.
Dengan
memastikan tubuh, pakaian, dan tempat ibadah bersih dari najis, seorang Muslim
telah menyiapkan dirinya untuk berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci.
Menjaga
kesucian dari najis adalah bagian dari komitmen spiritual dan disiplin diri.
Karena itu, pembahasan tentang najis tetap relevan dan penting, tidak hanya
dalam konteks salat, tetapi juga dalam kehidupan modern yang menuntut
kebersihan dan kesadaran terhadap halal-haram.